Kamis, 15 Oktober 2015

Mengenali Lebih dekat Kenangan Lewat Drama Mengancam Kenangan


Oleh: Zahratul Wahdati


Drama yang dipentaskan oleh Teater Tikar, 8 Oktober 2015 di Auditorium Gedung Pusat Universitas PGRI Semarang, lantai tujuh, berjudul “Mengancam Kenangan” yang disutradarai Ibrahim mampu menghadirkan adegan-adegan yang memiliki arti dalam, seakan-akan penonton diperlihatkan lukisan yang penuh tanda tanya. Untuk membuka jawaban tanda tanya tersebut, penonton dirangkul dengan lembut untuk menikmati setiap adegan demi adegan drama hingga akhir.

 Sebelum dimulai pun, penonton akan menikmati suasana panggung yang dindingnya diselimuti kain warna pekat, empat plastik transparan yang masing-masing diikat di langit-langit yang ujungnya menjuntai ke lantai, sebuah manekin wanita dari leher sampai perut tanpa busana di gantung di sudut panggung, dan tali-tali yang diikat tak beraturan di dinding tengah panggung. Suasana tersebut mampu mengaktifkan daya imajinasi penonton dan sangat menarik rasa penasaran.
Drama dimulai. Ditandai suasana gelap sebab lampu dimatikan. Ketika Lampu panggung menyala memunculkan wanita berbaju hitam dan laki-laki berbaju putih sedang menutupi mata wanita berkerudung. Lampu mati. Lampu menyala kembali. Kemudian berganti, memperlihakan wanita berkerudung yang menutupi mata wanita berbaju hitam dan laki-laki berbaju putih. Lampu mati kembali. Bikin penonton bertanya-tanya dan penasaran dengan maksud adegan pembukaan tersebut.
Cerita diawali dengan wanita berkurudung yang memukul-mukulkan sapu lidi hingga menimbulkan bunyi lambat dan beraturan seperti detak jantung. Ada empat siluet tokoh yang memakai kaos dari karung putih bercat warna-warni dan bercindung yang masing-masing berdiri di balik plastik transparan. Ke empat siluet itu bergantian dan berulang kali mengucapkan selamat pagi kepada wanita berkerudung itu, yang mereka panggil dengan sebutan Nyonya. Dengan enggan Nyonya membalas sapaan pagi itu, lalu terjadi dialog singkat antara mereka. Dialog dan awal cerita ini, memperlihatkan betapa sepi, sendu, dan kesabaran Nyonya. Seperti yang digambarkan lewat jawaban Nyoya, “Ini bukan tentang lelah atau bosan. Bagaimana aku menyapu teras ini adalah bagaimana lapangnya dadaku.”
Dialog tersebut menganalogikan kenangan dengan menyapu teras. Kenangan yang tak pernah lelah atau bosan menyapa Nyonya setiap pagi hari, meskipun Nyonya mencoba untuk membersihkannya.
Mengkritik dan Mengenang secara Halus Sejarah Merah Penulis
Kenangan adalah masa lalu. Sebenarnya, sulit untuk mengetahui titik mula dari kenangan. Tetapi, untuk mengetahui titik mula dari masalah kenangan yang menyiksa Nyonya adalah sejak lelakinya pergi. Banyak penonton yang kurang teliti untuk menemukan titik mula kenangan nyonya. Para penonton terlalu asik menikmati masalah keluarga antara Nyonya, Anak, dan wanita Anaknya. Sebenarnya Drama ini bukan hanya mengisahkan konflik keluarga. Namun, lebih dalam lagi yaitu mengenai sejarah. Ya, latar belakang sejarahlah yang memicu masalah-masalah berikutnya. Tepatnya ketika lelaki nyonya dibawa oleh para serdadu-serdadu bertopi panci. Masih ingat konflik yang menewaskan para wartawan-wartawan. Itu terjadi lantaran para wartawan mencoba menggoyahkan pemerintahan lewat tulisannya, sehingga mereka diam-diam dibunuh. Lelaki Nyonya adalah salah satu dari wartawan tersebut. Ini bisa dilihat saat adegan sesosok berseragam hitam-putih yang berjalan membelakangi penonton lengkap dengan kamera dan koper.
Secara halus namun telak drama Membungkam Kenangan ini mendatangkan kritik sejarah berdarah kepenulisan di masa lampau Indonesia, dan juga masa sekarang akibat kenangan tersebut yang dialami Nyonya dan Anaknya yang hidupnya dibayang-bayangi kenangan hitam akibat pembantaian penulis oleh pemerintahan lalu. Kesedihan itu tampak sekali lewat luka yang Nyonya siratkan saat menyapa figura-figura yang disimbolkan dengan plastik transparan. Debu-debu yang tertempel di dalam figura sangat hapal rutinitas Nyonya itu. Debu-debu itu digambarkan dengan siluet-siluet di dalam plastik transparan. Debu-debu itulah yang mulai menceritakan kejadian demi kejadian di rumah tersebut. Memang rumah itu sepi, hanya ada Nyonya. Namun, sebenarnya rumah itu sangat ramai dengan kenangan-kenangan yang diceritakan para debu. Kenangan tentang kepergian lelakinya dan anaknya yang memilih pergi bersama wanita yang ia cintai. Kenangan kadang membuatnya rindu dan juga menyakitkan yang selalu membuat Nyonya menangis. Seperti pigura-pigura yang tak pernah Nyonya pindah. Nyonya selalu rela menyambut kenangan-kenangannya setiap pagi.
Di tempat lain, sang anak juga sedang meratapi kenangan tentang ia dan wanita di dalam bak mandi. Hidupnya terkepung oleh kenangan hingga ia menghadirkan bayangan wanita itu setiap ia menenggelamkan diri di bak mandi. Tampak jelas begitu tertekannya Sang Anak hingga ia mengatakan, “Kau bertanya aku sedang apa? Kau mengancamku lewat bayangan dan aroma tubuh yang tidak juga kunjung hilang. Lewat air di dalam bak mandiku.”
Ada dua sudut penceritaan yaitu Nyonya bersama kenangannya dan Anak bersama kenangannya. Untuk penonton awam dua sudut pandang ini akan membuat bingung, ditambah lagi dengan alur campuran yang kadang-kadang membuat kening berkerut, tanda tak paham. Namun, tak paham itulah yang menjadi tanda tanya. Sehingga, penonton tetap menikmati jalannya drama tersebut.
Cara Menghadapi Ancaman Kenangan
Di drama ini penonton akan disuguhi perilaku-perilaku manusia dalam menghadapi ancaman kenangan yaitu melalui adegan Nyonya dan juga adegan Anak. Nyonya yang selalu menirama kenangan padahal hanya membiarkan kenangan itu. Sedangkan, sang Anak malah terus berimajinasi tentang bayangan wanita di bak mandi.
Nyonya semakin merasa kenangan-kenangan itu semakin mengancamnya bahkan mengutuknya ketika kenangan itu mulai bercerita tentang anaknya yang terus bertanya tentang sosok ayah. Akhirnya, nyonya menyimpan figura-figura itu, ia berharap dengan menyimpan figura-figura tersebut kenangan itu akan menipis dari ingatannya.  Sama dengan Nyonya, Sang Anak juga merasa kenangan begitu mengancam dirinya. Ia tidak bisa menghilangkan kenangan meski air bak mandi terus menenggelamkan tubuhnya.
Bukannya menipis kenangan itu semakin menebal, hingga menghadirkan sesal dan putus asa. Anaknya menyesal karena telah meniggalkan Nyonya—ibunya. Sedangkan Nyonya menyesal karena telah melakukan hal bodoh yaitu menyimpan figura-figura tersebut. Figura-figura yang sesungguh tidak hanya menyimpan sedih namun juga kebahagiaan. Debu-debu berterbangan. Nyonya semakin putus asa, ancaman-ancaman debu yang menyuruhnya menghentikan kenangan. Sang anak menusuk manekin tanpa busana yang menjadi simbol kenangannya. Adegan ini membuat penonton histeris, sebab setiap tusukan pisau di manekin itu mengucurkan air merah dari manekin. Lantas Nyonya menguyur manekin itu dengan air. Sayangnya, manekin itu tetap ada. Seperti kenangan yang tetap abadi.
Kenangan sebenarnya tidak bisa dihentikan meskipun orang yang menghadirkan kenangan kembali. Ketika orang mencoba menjauhkan diri dari kenangan, kenangan itu akan semakin kuat. Seperti dalam dialog ini, “Sembunyikanlah sedalam yang kau bisa. Tutupilah serapat yang kau mampu. Namun, aku tetap hadir, di manapun kau berada.”
“Dan mungkin yang kekal di dunia ini selain Tuhan, hanyalah kenangan....”
Cuplikan dialog itu sungguh diksinya mampu menampar penonton, bahwa sia-sia untuk melawan kenangan. Nyonya mulai paham itu, sehingga ia membiarkan kenangan-kenangan itu kembali mengisi harinya dan yang bisa menghentikan tangis karena kenangan adalah dirinya sendiri. Sebab kenangan bukanlah untuk dilawan, tetapi untuk diterima, disaksikan, dan berlapang dada bahwa kenangan itu akan ada di tempatnya pada seluruh sisa hidupmu.(*)


Biodata Penulis:
Nama: Zahratul Wahdati
Kelas: 5A

NPM:13410013

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 ZAHRATUL WAHDATI
| Distributed By Gooyaabi Templates