Terbaru

Sabtu, 18 April 2015

Aku Kangen Keramaian di Rumah Kami

Aku Rindu Tawa dan Canda Keluarga Amnesia and the Twins, Aku kangen Keramaian di rumah kami.

Sudah lama sekali, sudah hampir setengah tahun rumah itu tak berfungsi untuk memberikan kehangatan. Hanya ada sepi. Hanya ada ruang kosong. Hanya ada batu-batu es yang membingkai tiap jendela. Ada orang di sana. Tetapi seakan tak ada. Tak ada sapa, tak ada guyonan, tak ada candaan, tak ada apapun. Aku rindu, sungguh rindu.
Kalian ke mana? Kalian Ke mana? Tak ada yang menyapa Ara lagi. Tak ada yang peduli Ara. Bagaimana tulisan Ara sekarang? Siapa yang memberikan kritik dan saran tulisan Ara sekarang. Siapa yang peduli kalo EYD Ara menyedihkan. Aku kangen, kangen amarah kakak. Kangen ketika kakak bilang angkat tangan membaca tulisan Ara, tetapi beberapa detik kemudian kalian memeluk Ara kembali. Ara kangen itu. Kangen sekali.
Sekarang, setiap Ara selesai membuat cerpen, Ara bingung siapa yang akan mengomentari tulisan Ara. Endingnya Ara hanya mengandalkan kemampuan Ara yang tak sehebat kalian. Ara kangen dibimbing. Kangen mengandeng tangan Kakak. Ara merasa berjalan di jalan gelap, terjal, sulit sekali. Ara merasa tidak akan menjadi apa-apa tanpa orang-orang hebat seperti kalian. Seorang murid pasti butuh guru bukan, pasti akan sulit kalo dia hanya belajar dari buku bukan?
Ara butuh kalian untuk mengajari Ara.
Kak Erna, Ara kangen Kak Erna. Tetapi Ara tahu, nggak mungkin Ara menyuruh Kakak ke rumah lagi. Karena Kakak sudah menetap di rumah berbeda. Ara kangen...
Kak Mita, Ara juga kangen. Beberapa minggu ini kita nggak telepon-teleponan.
Kak Adam. Kenapa kau berubah sekali. Ara merasa kakak bukan orang yang pertama kali Ara kenal. Kakak yang paling peduli sama Ara. Tetapi sekarang Kakak semakin jauh ... Ara kangen Kak Adam.
Kak Vita. Kak Vita kok jarang online? kangen Rafaelnya, kangen celoteh kakak.
Oppa dan Kak Amel. Aku selalu cemburu dengan kalian.
Aku kangen kalian. Aku kangen. Ara kangen.

Minggu, 12 April 2015

Timun Untuk Permintaan Maaf

Dedeng!!! Cenak kedua aku di padang ekpress dateng, ceilah! Seneng dong! Rasanya aku bisa buktiin pada diri sendiri kalau aku tuh bisa bikin cerita :v
Terimakasih untuk semua orang yang mendukung Ara, tanpa kalian mungkin Ara sudah berhenti menulis. Kemarin pas cernak pertamaku dimuat kak Erna masih ngucapin selamat. Tetapi cernak ini, hiks-hiks .... Ini cernak ara hadiahkan khusus untuk Kak Erna terimakasih banyak selama dua tahun mengenal Ara, Kak Erna terus menyemangati Ara.

Ara posting versi belum direvisi sama editornya yah .... yang direvisi hanya judul dan nama kancil, yang awalnya Kaci menjadi Kacil. Ohya yang paling keren tuh ilustrasinya, kemarin pas cernakku yang pertama nggak ada ilustrasinya. Kali ini ada. Dan unyu-unyu.
Ini dia ... 
Aku kirim tanggal 8 April dan dimuat 12 April 2015, cepet banget kan :)

Kalau mau baca versi pedek silakan klik di sini http://m.padek.co/detail.php?news=23309


Timun Pemintaan Maaf
Oleh: Diy Ara

            Jiji si anjing sakit. Ia tidak bisa melaksanakan tugasnya, menjaga kebun Pak Tani. Padahal, beberapa hari lagi sayuran-sayuran akan  siap dipanen.  Jiji sangat takut, bagaimana kalau hewan-hewan mencuri sayuran itu.
             Dua hari kemudian, Jiji merasa tubuhnya sudah sehat. Sambil mengonggong riang, ia menuju kebun ketika subuh tiba. Ia bernapas lega, melihat terong ungu, kubis, dan sawi yang besar-besar. Namun, betapa terkejutnya ia ketika sampai di kebun timun. Tanaman yang merambat di bilah-bilah bambu itu dahan-dahannya banyak yang patah dan rusak. Timunnya sudah tidak ada satu pun.
            “Oh, tidak! Siapa yang berani mencuri semua timun? Awas kalau ketemu!” Jiji mengendus-edus tanah, mencari jejak pencurinya. Ia menemukan banyak jejak kaki Pak Tani. Ia juga menemukan jejak kaki lain.  “Ini ...  ini pasti jejak kaki kancil! Aku yakin!”
            “Awas kau kancil!”
Dengan kencang, Jiji berlari ke hutan. Mencari keberadaan si kancil. Setelah bertanya pada beberapa hewan, ia pun menemukan rumah kancil. Digedornya keras pintu kayu itu, hingga Kaci si kancil membukanya.
“Kau harus bertanggung jawab dengan apa yang kau lakukan, Kaci!”
Kaci tampak bingung. “Memang apa yang aku lakukan?”
“Kau jangan pura-pura tidak tahu!” bentak Jiji. “Dasar pencuri!”
“Apa? Pencuri?” Kaci semakin tampak bingung.
“Aku tahu, kau yang mencuri timun Pak Tani kan!”
“Tidak! Aku tidak melakukannya, aku tidak mencuri!” Kaci menggelengkan kepalanya.
“Mana ada pencuri yang mengaku!” Jiji mendengus kesal. “Kau terkenal suka mencuri timun! Sudah akui saja!”
“Sungguh aku tidak mencurinya, Jiji. Aku bisa mencari makanan di hutan. Di sana banyak sekali makanan. Aku tidak perlu mencuri di kebun Pak Tani lagi.” Kaci terus mencoba meyakinkan.
“Alah, berhenti pura-pura! Kau memang pencurinya, aku punya buktinya.”
“Mana? Coba tunjukan!”
“Baik, ikut aku!”
Jiji membawa Kaci menuju kebun timun dan menunjukan jejak kaki kancil. “Itu jejak kakimu kan?”
Kaci melihat jejak kaki itu lebih dekat dan membandingkanya dengan telapak kakinya. Kok sama, pikirnya.
“Betul kan itu jejak kakimu?” tanya Jiji diulang. “Kau pencurinya!”
 “Aku memang pernah melewati kebun ini saat pulang dari sungai. Jujur, saat itu aku memang lapar dan tergiur mengambil timun. Tetapi, tidak jadi. Aku ingat, kejadian terakhir kali aku mencuri. Aku kapok!”
Jiji tertawa mengejek. “Jangan mengarang cerita, Kaci! Sudah akui saja kau mencuri semua timun di kebun ini.”
“Sungguh, aku tidak mencuri! Dan bagaimana mungkin hewan kecil seperti aku bisa mencuri semua timun di kebun yang luas ini?” kata Kaci membela diri.
“Kau pasti mencuri bersama teman-temanmu.”
“Kalau seperti itu harusnya banyak jejak kaki kancil di sini?”
Jiji bingung menjawab pertanyaan Kaci. Ia hanya menemukan jejak kaki seekor kancil. Tetapi, Jiji ingat kancil terkenal sangat licik.
“Jangan mencoba menjebakku, Kaci! Kau memang pencurinya!” Nada suara Jiji semakin keras. “Ikut aku! Kau harus aku adukan kepada Pak Tani.”
Dengan gonggongannya yang seram, Jiji memerintah Kaci menuju halaman rumah Pak Tani. Kaci tampak gemetaran. Ia ingat dulu saat ia hampir dihajar Pak Tani karena ketahuan mencuri timun. Untungnya, ia bisa kabur.
Mereka berhenti, melihat mobil bak terbuka di halaman rumah Pak Tani. Pak Tani dan si supir keluar dari rumah sambil memikul keranjang dan menaikannya ke mobil. Ada benda hijau tak sengaja jatuh dari keranjang. Jiji menghampiri dan ternyata benda hijau itu timun. Ia ingat, kalau banyak jejak kaki Pak Petani di kebun timun. Itu pasti karena Pak Tani sudah memanen timunnya.
Ia menoleh ke arah Kaci. Jiji merasa bersalah  tetapi ia malu mengakuinya. Ia mengigit timun yang terjatuh itu dan medekati Kaci.
“Ini untukmu, timun pemintaan maaf,” kata Jiji sambil meletakan timun dari mulutnya ke tanah. “Maafkan aku telah menuduhmu mencuri. Aku menyesal.”
“Kau tahu sekali, aku sangat lapar!” seru Kaci riang sambil mengigit timun pemberian Jiji. “Terimakasih. Aku sudah memaafkanmu.”
Jiji merasa lega, Kaci tidak marah. Ia janji tidak akan bersikap gegabah dan menuduh sembarang lagi.
-tamat-












Rabu, 08 April 2015

Obat tidurku: dia

Obat tidurku: dia
Oleh: Diy Ara
           
            Kau tahu, aku sering memaki Laut Jawa. Dia begitu jahat, memisahkan Kalimantan dan Jawa. Menyebabkan jarak kau dan aku terlalu jauh. Semakin sulit untuk bertemu. Semakin sulit menyentuh. Dan tentu, aku akui, itu menyebabkan rindu berkerumun seperti awan dalam jantungku.
            Tapi jujur, aku tak pernah menyangka, aku yang kekanak-kanakan ini tetap bertahan melewati hubungan cinta semacam ini. Padahal teman-teman bilang, aku sama saja seperti jomblo padahal aku punya kau. Sempat aku ingin menyerah, mengatakan putus. Lalu diam dan pergi. Karena saat itu, aku pikir itu mudah. Amat gampang. Tinggal ganti kartu sim HP dan tutup semua akun media sosialku. Dan tidak ada lagi cara kita bisa saling terhubung.
 Ah, aku bisa gila jika melakukannya sebab aku tak mungkin bisa menutup mata, tidur tanpa mendengar suaramu. Karena suaramu adalah obat tidurku, si penyandang insomnia.
“Aku punya hadiah untukmu, Ra.” katamu di sambungan telepon.
“Aku tidak butuh hadiah, kita kan sama-sama mahasiswa. Kita harus hemat. Biaya kirim Kalimantan-Jawa itu lumayan mahal.”

Senin, 06 April 2015

Belajar dari Pengalaman (Jangan Buatkan tapi Ajari)



Hal yang menyakitkan yang tidak akan saya ulangi lagi: membiarkan nama di karya saya berubah menjadi nama teman. Sungguh, rasanya sakit sangat menyakitkan bahkan membuat saya menangis. Hari ini temen saya meminta mebuatkan dia cerpen. Dan tentu saya menolak. Saya sebenernya orang yang tidak enakan dan suka berburuk sangka, saya takut karena saya menolak “membantu”nya saya dicap pelit dan sombong. Ah, tetapi saya tidak mau lagi merasakan sakit yang saya alami dulu.
Dulu saya pernah melakukan hal itu, teman-teman di kelas meminta bantuan membuatkan puisi. Awalanya hanya teman sebangku lalu merambat ke teman-teman lain, sampai hampir sepuluh anak. Saya kira saat itu saya membantu mereka, tetapi ternyata tidak selamanya berbuat baik itu baik hati. Tetapi saya malah merasa saya itu goblog sekali. Merelakan karya saya disebut dan dibacakan di depan kelas bukan sebagai karya saya tetapi karya teman saya. Betapa bodohnya saya saat itu. Bahkan puisi saya yang ada di teman saya mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Tentu lebih tinggi dibandingkan puisi yang saya bacakan. Mungkin saat itu saya terlalu naif, kekanak-kanakan menganggap membantu mereka akan membuat keberadaan saya dianggap. Namun, endingnya saya malah merasakan sesak dan menangis di toilet. Tidak ada yang peduli, mereka tidak peduli, mereka hanya butuh puisi saya. Tidak peduli perasaan saya.
Makanya kali ini dan seterusnya saya akan menolak membuatkan teman cerpen, meski sedekat apapun teman itu dengan saya. Saya tidak mau. Saya tidak rela karya saya dianggap karya dia. Meskipun karya saya masih belum bagus, dan masih menye-menye saya tidak akan membiarkan siapapun menganti nama di sana.
Saya memang menolak untuk membuatkan cerpen, tapi bukan berarti saya tidak mau membantu. Saya akan membantu teman ataupun siapapun dalam menulis. Saya akan membantu kritik dan memberi saran. Bahkan kalau kamu mau, ayo belajar bersama sampai bisa menulis. Saya juga masih belajar kok!
i love you



Copyright © 2015 ZAHRATUL WAHDATI
| Distributed By Gooyaabi Templates