Mengenali Lebih dekat Kenangan Lewat Drama Mengancam Kenangan
Oleh: Zahratul Wahdati
Drama yang dipentaskan oleh Teater Tikar, 8
Oktober 2015 di Auditorium Gedung Pusat Universitas PGRI Semarang, lantai
tujuh, berjudul “Mengancam Kenangan” yang disutradarai Ibrahim mampu
menghadirkan adegan-adegan yang memiliki arti dalam, seakan-akan penonton
diperlihatkan lukisan yang penuh tanda tanya. Untuk membuka jawaban tanda tanya
tersebut, penonton dirangkul dengan lembut untuk menikmati setiap adegan demi adegan
drama hingga akhir.
Sebelum
dimulai pun, penonton akan menikmati suasana panggung yang dindingnya
diselimuti kain warna pekat, empat plastik transparan yang masing-masing diikat
di langit-langit yang ujungnya menjuntai ke lantai, sebuah manekin wanita dari
leher sampai perut tanpa busana di gantung di sudut panggung, dan tali-tali
yang diikat tak beraturan di dinding tengah panggung. Suasana tersebut mampu
mengaktifkan daya imajinasi penonton dan sangat menarik rasa penasaran.
Drama dimulai. Ditandai suasana gelap sebab
lampu dimatikan. Ketika Lampu panggung menyala memunculkan wanita berbaju hitam
dan laki-laki berbaju putih sedang menutupi mata wanita berkerudung. Lampu
mati. Lampu menyala kembali. Kemudian berganti, memperlihakan wanita berkerudung
yang menutupi mata wanita berbaju hitam dan laki-laki berbaju putih. Lampu mati
kembali. Bikin penonton bertanya-tanya dan penasaran dengan maksud adegan
pembukaan tersebut.
Cerita diawali dengan wanita berkurudung yang
memukul-mukulkan sapu lidi hingga menimbulkan bunyi lambat dan beraturan
seperti detak jantung. Ada empat siluet tokoh yang memakai kaos dari karung
putih bercat warna-warni dan bercindung yang masing-masing berdiri di balik
plastik transparan. Ke empat siluet itu bergantian dan berulang kali
mengucapkan selamat pagi kepada wanita berkerudung itu, yang mereka panggil
dengan sebutan Nyonya. Dengan enggan Nyonya membalas sapaan pagi itu, lalu
terjadi dialog singkat antara mereka. Dialog dan awal cerita ini,
memperlihatkan betapa sepi, sendu, dan kesabaran Nyonya. Seperti yang
digambarkan lewat jawaban Nyoya, “Ini bukan tentang lelah atau bosan. Bagaimana
aku menyapu teras ini adalah bagaimana lapangnya dadaku.”
Dialog tersebut menganalogikan kenangan
dengan menyapu teras. Kenangan yang tak pernah lelah atau bosan menyapa Nyonya
setiap pagi hari, meskipun Nyonya mencoba untuk membersihkannya.
Mengkritik
dan Mengenang secara Halus Sejarah Merah Penulis
Kenangan adalah masa lalu. Sebenarnya, sulit
untuk mengetahui titik mula dari kenangan. Tetapi, untuk mengetahui titik mula
dari masalah kenangan yang menyiksa Nyonya adalah sejak lelakinya pergi. Banyak
penonton yang kurang teliti untuk menemukan titik mula kenangan nyonya. Para
penonton terlalu asik menikmati masalah keluarga antara Nyonya, Anak, dan wanita
Anaknya. Sebenarnya Drama ini bukan hanya mengisahkan konflik keluarga. Namun,
lebih dalam lagi yaitu mengenai sejarah. Ya, latar belakang sejarahlah yang
memicu masalah-masalah berikutnya. Tepatnya ketika lelaki nyonya dibawa oleh
para serdadu-serdadu bertopi panci. Masih ingat konflik yang menewaskan para
wartawan-wartawan. Itu terjadi lantaran para wartawan mencoba menggoyahkan
pemerintahan lewat tulisannya, sehingga mereka diam-diam dibunuh. Lelaki Nyonya
adalah salah satu dari wartawan tersebut. Ini bisa dilihat saat adegan sesosok
berseragam hitam-putih yang berjalan membelakangi penonton lengkap dengan
kamera dan koper.
Secara halus namun telak drama Membungkam
Kenangan ini mendatangkan kritik sejarah berdarah kepenulisan di masa lampau
Indonesia, dan juga masa sekarang akibat kenangan tersebut yang dialami Nyonya
dan Anaknya yang hidupnya dibayang-bayangi kenangan hitam akibat pembantaian
penulis oleh pemerintahan lalu. Kesedihan itu tampak sekali lewat luka yang
Nyonya siratkan saat menyapa figura-figura yang disimbolkan dengan plastik
transparan. Debu-debu yang tertempel di dalam figura sangat hapal rutinitas
Nyonya itu. Debu-debu itu digambarkan dengan siluet-siluet di dalam plastik
transparan. Debu-debu itulah yang mulai menceritakan kejadian demi kejadian di
rumah tersebut. Memang rumah itu sepi, hanya ada Nyonya. Namun, sebenarnya rumah
itu sangat ramai dengan kenangan-kenangan yang diceritakan para debu. Kenangan
tentang kepergian lelakinya dan anaknya yang memilih pergi bersama wanita yang
ia cintai. Kenangan kadang membuatnya rindu dan juga menyakitkan yang selalu
membuat Nyonya menangis. Seperti pigura-pigura yang tak pernah Nyonya pindah.
Nyonya selalu rela menyambut kenangan-kenangannya setiap pagi.
Di tempat lain, sang anak juga sedang
meratapi kenangan tentang ia dan wanita di dalam bak mandi. Hidupnya terkepung
oleh kenangan hingga ia menghadirkan bayangan wanita itu setiap ia
menenggelamkan diri di bak mandi. Tampak jelas begitu tertekannya Sang Anak
hingga ia mengatakan, “Kau bertanya aku sedang apa? Kau mengancamku lewat
bayangan dan aroma tubuh yang tidak juga kunjung hilang. Lewat air di dalam bak
mandiku.”
Ada dua sudut penceritaan yaitu Nyonya
bersama kenangannya dan Anak bersama kenangannya. Untuk penonton awam dua sudut
pandang ini akan membuat bingung, ditambah lagi dengan alur campuran yang
kadang-kadang membuat kening berkerut, tanda tak paham. Namun, tak paham itulah
yang menjadi tanda tanya. Sehingga, penonton tetap menikmati jalannya drama
tersebut.
Cara Menghadapi Ancaman Kenangan
Di drama ini penonton akan disuguhi
perilaku-perilaku manusia dalam menghadapi ancaman kenangan yaitu melalui
adegan Nyonya dan juga adegan Anak. Nyonya yang selalu menirama kenangan
padahal hanya membiarkan kenangan itu. Sedangkan, sang Anak malah terus
berimajinasi tentang bayangan wanita di bak mandi.
Nyonya semakin merasa kenangan-kenangan itu
semakin mengancamnya bahkan mengutuknya ketika kenangan itu mulai bercerita
tentang anaknya yang terus bertanya tentang sosok ayah. Akhirnya, nyonya menyimpan
figura-figura itu, ia berharap dengan menyimpan figura-figura tersebut kenangan
itu akan menipis dari ingatannya. Sama
dengan Nyonya, Sang Anak juga merasa kenangan begitu mengancam dirinya. Ia
tidak bisa menghilangkan kenangan meski air bak mandi terus menenggelamkan tubuhnya.
Bukannya menipis kenangan itu semakin
menebal, hingga menghadirkan sesal dan putus asa. Anaknya menyesal karena telah
meniggalkan Nyonya—ibunya. Sedangkan Nyonya menyesal karena telah melakukan hal
bodoh yaitu menyimpan figura-figura tersebut. Figura-figura yang sesungguh
tidak hanya menyimpan sedih namun juga kebahagiaan. Debu-debu berterbangan.
Nyonya semakin putus asa, ancaman-ancaman debu yang menyuruhnya menghentikan
kenangan. Sang anak menusuk manekin tanpa busana yang menjadi simbol
kenangannya. Adegan ini membuat penonton histeris, sebab setiap tusukan pisau
di manekin itu mengucurkan air merah dari manekin. Lantas Nyonya menguyur
manekin itu dengan air. Sayangnya, manekin itu tetap ada. Seperti kenangan yang
tetap abadi.
Kenangan sebenarnya tidak bisa dihentikan
meskipun orang yang menghadirkan kenangan kembali. Ketika orang mencoba
menjauhkan diri dari kenangan, kenangan itu akan semakin kuat. Seperti dalam
dialog ini, “Sembunyikanlah sedalam yang kau bisa. Tutupilah serapat yang kau
mampu. Namun, aku tetap hadir, di manapun kau berada.”
“Dan mungkin yang kekal di dunia ini selain
Tuhan, hanyalah kenangan....”
Cuplikan dialog itu sungguh diksinya mampu
menampar penonton, bahwa sia-sia untuk melawan kenangan. Nyonya mulai paham
itu, sehingga ia membiarkan kenangan-kenangan itu kembali mengisi harinya dan
yang bisa menghentikan tangis karena kenangan adalah dirinya sendiri. Sebab
kenangan bukanlah untuk dilawan, tetapi untuk diterima, disaksikan, dan
berlapang dada bahwa kenangan itu akan ada di tempatnya pada seluruh sisa
hidupmu.(*)
Biodata Penulis:
Nama: Zahratul Wahdati
Kelas: 5A
NPM:13410013
0 komentar:
Posting Komentar