Cerpen Ternyata Leana Tidak Begitu dimuat pada Majalah GIRLS No.05/Th.XI, beredar 7 Oktober - 20 Oktober 2015.
Thank you, buat Kak Bambang yang membantu Ara nulis cernak ini, thank buat Rani, Sahabatku, yang mau ngutangin dan beliin majalahnya di Toga Mas. hehehe. Dan tak lupa, Damar, Athirah, Khotim yang mau foto bareng sama karyaku. :) Narsis dulu nggak papa, ya :v
Ternyata Leana Tidak Begitu
Oleh Diy Ara
“Leana itu egois! Masa tugas kelompok, soal yang susah-susah
aku yang disuruh ngerjain!” cerita Jiha dengan wajah cemberut kepadaku dan
Fanya. Ketika itu kami sedang makan di kantin sekolah.
“Harusnya kamu protes dong, Jiha!” seru Fanya.
“Nggak berani, dia kan anak kepala sekolah SMP ini dan ketua
kelas. Emangnya kamu berani, Nya? Kamu aja kemarin ngeluh, saat K3 disuruh
Leana bersihin sarang laba-laba.” Jiha lalu mengigit gorengan.
“Iyalah, itu melelahkan, aku harus jinjit-jinjit!” Fanya
mendengus kesal. Lalu dia menatapku dengan tatapan menyelidik. “Kok kamu diam
doang, Ca? Kamu kan temen sebangkunya Leana, apa kamu nggak ngerasa kalo Leana
itu egois?”
Aku tersenyum cangung. Rasanya ingin menceritakan perasaanku
tentang sikap Leana. Tetapi, aku mengurungkannya. Karena aku sudah
menganganggap Leana teman baikku.
Namun saat di kelas, bukan hanya Fanya dan Jiha yang
mengatakan Leana egois. Teman-teman juga menceritakan kekesalannya kepada
Leana. Teman-teman bilang, Leana itu mau menang sendiri, dan tidak bertanggung
jawab saat peralatan kelas hilang. Ah, telingaku jadi panas mendengarnya. Aku
harus bertindak!
Ketika pulang sekolah, aku memutuskan, menceritakan semuanya
kepada Leana.
“Aku itu nggak egois, Ca!” seru Leana kesal.
“Aku cuma ingin nyampein anggapan temen-temen kamu, Le! Biar
kamu tahu omongan mereka di belakangmu.”
“Yang mana, yang bikin aku dicap egois? Aku nyuruh Jiha
ngerjain soal yang susah karena dia kan memang pinter matematika. Terus aku
nyuruh Fanya bersihin sarang laba-laba karena dia anak yang paling tinggi.”
Suara Leana meninggi. Tatapannya tajam memperlihatkan kemarahannya.
Ucapan Leana itu malah bikin aku emosi. “Kamu itu harusnya
berterima kasih sama aku, Le. Aku udah beberin semua kesalahanmu, biar kamu
sadar. Eh kamu malah marah-marah!”
“Ya iyalah aku marah. Orang aku nggak salah!”
“Nggak salah? Kamu itu emang egois, Le! Kamu pernah minjem
buku catatanku, terus nggak dibawa ke sekolah, jadi aku dimarahin ibu guru.
Buku komikku juga belum dikembaliin sampai sekarang!”
“Kan aku udah bilang, ambil komiknya di rumahku!”
“Rumahmu itu jauh, Le. Masa aku harus jalan kaki ke sana?
Padahal, kamu pulang-pergi naik mobil. Itu bukti kamu egois!”
Leana terdiam sebentar. “Selama ini aku udah menganggap kamu
sahabat, Ca. Tetapi kamu malah nggak ngerti perasaanku.” Dia meraih tasnya dan
meninggalkan kelas dengan langkah dihentakkan.
Malam harinya, aku sulit tidur. Lalu aku menceritakan
masalah ini kepada Fanya lewat pesan facebook.
Fanya Cirara: Wah aku bangga sama kamu, Ca. Akhirnya ada
anak yang berani ngasih kritik sama Leana.
Caca Mentari: Tapi aku ngerasa aku yang salah, Nya. Leana
bilang, aku nggak ngerti perasaannya.
Fanya Cirara: Dia yang nggak ngerti perasaan kita,
temen-temen kelasnya. Kamu bener kok. Kamu nggak salah, Ca. Yang kamu lakuin
bener, jadi nggak usah takut.
Ya, aku juga ngerasa aku nggak salah. Niatku kan baik.
Esok harinya, aku tidak duduk di samping Leana. Aku pindah
duduk dengan Fanya, karena Jiha teman sebangkunya tidak masuk. Teman-teman
ternyata banyak yang mendukungku. Sampai-sampai mereka perang dingin dengan
Leana. Leana tampaknya tidak peduli.
Sebenarnya, aku tidak suka keadaan seperti ini. Hari ini,
suasana kelas menjadi tidak nyaman. Bahkan teman-teman tidak mau piket
kebersihan sebagai bentuk protes. Kelas pun menjadi kotor. Menyebalkannya lagi,
ketika pulang sekolah, aku lupa meninggalkan tempat pensilku di laci. Aku
terpaksa kembali lagi ke kelas.
Aku melihat Leana masih di dalam kelas. Kuamati apa yang dia
lakukan lewat jendela. Dia sedang berjalan jongkok, meneliti bawah meja-meja
dan kursi-kursi. Seperti sedang mencari sesuatu.
“Spidol kelas hilang lagi! Padahal baru kemarin aku beli
dengan uang sakuku. Besok aku harus membelinya lagi.” katanya dengan wajah
murung.
Astaga! Tenyata aku dan teman-teman kelas salah sangka.
Leana sangat bertanggung jawab terhadap keadaan kelas. Aku sungguh merasa
bersalah. Apa lagi melihat Leana menangis sambil menyapu kelas.
Aku bergegas mengambil sapu dan ikut menyapu kelas. “Maafkan
aku, karena aku telah berburuk sangka. Kamu bukan orang yang egois kok Leana.”
“Caca, tapi teman-teman menganggap aku egois dan mereka
cuekin aku.”
“Aku juga awalnya seperti itu, Le. Salah sangka sama kamu.
Makanya, kamu harus menjelaskan maksud kamu, kenapa menyuruh mereka melakukan
itu. Dan buktikan pada mereka, kamu bertanggung jawab dan tidak egois.”
“Terima kasih, Ca. Kamu memang sahabat baikku.”
Kami berjabatan tangan sambil tersenyum.
“Oh, iya. Ayo ke rumahku. Sebenernya aku nggak bermaksud
untuk nggak mengembalikan komikmu. Aku hanya ingin kamu main ke rumahku. Kita
bisa baca banyak komik milik kakakku. Kali ini kamu harus mau naik mobilku.”
Selama ini, Leana memang sering mengajakku menumpang
mobilnya. Tetapi, aku selalu menolak. Aku malu karena di mobil itu juga ada
kepala sekolah.
Esoknya, Leana minta maaf dan menjelaskan kesalahpahaman
yang terjadi. Dia berjanji akan menjadi ketua kelas yang lebih baik lagi.
Teman-teman juga minta maaf kepada Leana. Kelas pun menjadi damai kembali. (*)
waah manis sekali cerpennya, ikutan belajar :)
BalasHapusterimakasih kakak naqi yang sudah. ara lebih sering belajar di blog kakak... terimakasih :)
Hapus