Senin, 04 Mei 2015

Cerpen Senja Ungu di Mata Bapak


Senja Ungu di Mata Bapak
oleh Diy Ara

            Setiap pulang, saya selalu menemukan senja di mata Bapak. Awalnya senja itu, berwarna keemasan. Tetapi kini berubah jadi ungu setelah kepergian Ibu.
            ***
            Hujan menyentuh jemari saya, yang sengaja saya julurkan melewati atap halte. Percikan-percikan airnya mengenai seragam putih abu-abu yang saya kenakan. Merembes juga melewati lubang di kedua ujung sepatu saya. Mungkin hanya perasaan—beberapa orang di halte itu memperhatikan saya. Seakan-akan  mereka melihat ada anak menyedihkan yang pantas ditonton.
            Sejujurnya, saya sedang tidak menunggu bis. Apalagi menunggu Bapak menjemput seperti kebiasaannya dua tahun lalu. Itu tidak mungkin. Motor Bapak sudah dijual untuk mengobati mata Bapak. Tubuh Bapak juga semakin renta. Ia mudah sekali masuk angin. Jadi, saya hanya menunggu hujan reda di sini.
            Tiba-tiba sebuah motor berhenti di hadapan saya. “Din, ayo naik!”
 “Siapa?” tanya saya setelah gagal mengenali suara itu dan juga sosoknya yang disamarkan jas hujan dan helm hitam.
Ia membuka kaca helm, “Aku, Gilang! Ayo naik, cepet!”
“Gilang?”
Saya tertegun, tetapi akhirnya saya naik juga ke bonjengan. Terdengar suara hujaman air mengenai jas hujan yang memayungi kepala saya. Menyatu dengan detak jantung saya yang cepat. Secepat motor itu melaju.
Esoknya, saya tidak menyangka, ternyata itu bukan cuma mimpi yang kebetulan jadi nyata. Itu menjadi semakin nyata pada hari-hari berikutnya. Gilang, kakak kelas kaya raya dan ganteng itu beneran naksir saya. Ia bilang, ia sangat salut dengan kesabaran saya menerima kesedihan. Ia juga berjanji, akan membuat saya bahagia.
Sungguh itu bukan hanya janji, setiap hari ia memberikan saya bunga. Ia juga membelikan sepatu. Selalu berada di dekat saya. Dengan begitu, sirnalah julukan anak nelangsa yang diberikan teman-teman kepada saya. Malahan, mereka mengganggap saya sangat beruntung. Saya mengakuinya, pacaran dengan Gilang membuat saya serasa melewati pelangi. Meski saya harus menerjang diam-diam nasehat Bapak untuk tidak pacaran. Tak masalah.
Untuk menutupi hubungan kami, saya semakin sering berdusta pada Bapak. Dari alasan belajar ke rumah Retno, Eskul di sekolah, dan lain-lainnya. Tak masalah. Yang penting Bapak tak tahu, kalau Gilang sering membawa saya jalan-jalan sepulang sekolah.
Suatu malam, Gilang mengandeng saya menuju pesta ulang tahun temannya yang diadakan di rumah. Saya kira sangat ramai, ternyata hanya sekitar sepuluh orang di sana: tiga perempuan dan tujuh laki-laki.  Langkah kaki saya memberat, menatapi botol-botol alkohol di meja ruang itu.
“HBD, Bro!” sapa Gilang pada temen berambut cepak. “Sorry telat, Jo.”
“Slow aja, Sob!”
“Gilang aku mau pulang aja.” Saya berbisik ditelinganya. Tubuh saya sudah gemetar ketakutan.
“Bentar, aku toilet dulu.”
 Gilang meninggalkan saya bersama pandangan mata menjijikan Jo, lelaki berambut cepak. Hal yang tiba-tiba tidak saya duga terjadi. Tangan Jo mengangangkat dagu saya, lantas mencium brutal bibir saya. Napas saya seakan terlepas. Saya terus berusaha mendorong tubuh itu. Sampai akhirnya Gilang datang dan meninju pipi Jo.
“Itu hanya salam perkenalan, Sob! Nggak lebih!”
Saya tidak mendengar lagi percakapan mereka, dan tak peduli lagi. Air mata saya menitih. Dada saya benar-benar sesak. Saya berlari keluar. Seandainya saya ingat kata bapak.
            ***
            Senja ungu di mata Bapak semakin gelap dan membuat saya takut. Ah, tetapi kenapa saya takut? Bapak tidak tahu hal hina yang saya lakukan kemarin. Karena ketika saya pulang, saya langsung menutup pintu dan menangis di bawah bantal. Padahal saat itu, saya sangat menyukai ungu, warna kesukaan Gilang. Lama-lama saya malah jadi benci warna ungu, mungkin karena terlalu lama menahan ketakutan setiap memandang mata Bapak dan membayangkan hubungan saya dengan Gilang.
Saya tidak tahan lagi menerima keanehan ini, kenapa saya terlalu takut dengan mata senja ungu, Bapak? Dan kenapa mata bapak semakin gelap setiap menatap saya? Makanya suatu sore, saya beranikan diri bertanya pada Bapak, kenapa dengan warna matanya? Ia tak menjawab, ia malah memeluk saya. Saya bertanya lagi, kenapa warnanya ungu? Ia tak menjawab lagi, tetapi telinga saya mendengar suara tangis yang lekas membungkam mulut saya.
Itu pertama dan terakhir kali saya bertanya tentang senja ungu di matanya. Saya tak berani lagi. Saya tak mau dia menangis. Lebih baik saya membiarkan ketakutan ini merajalela dan biarkan saja saya pendam sendiri. Saya merasa bersalah, meski saya tidak tahu apakah bapak mengetahui kebohongan saya yang mengecewakannya atau tidak. Tetapi sejak saat itu saya memutuskan tidak pacaran. Meski saya tahu, Gilang benar-benar mencintai saya. Itu terbukti saat ia rela mendekam di penjara setelah meninju Jo hingga masuk rumah sakit.

Dan saya menyesal memendam pertanyaan itu sampai senja selesai. Sampai saya tidak mendapat kejelasan apa pun, kenapa ada senja ungu di mata Bapak yang sekarang telah tenggelam di ujung barat, di atas taburan daun pandan dan bebungaan. Saya hanya ingin meminta maaf atas kesalahan yang saya pendam itu, Bapak. Maafkan saya.

4 komentar:

Copyright © 2015 ZAHRATUL WAHDATI
| Distributed By Gooyaabi Templates