Jumat, 16 Maret 2018

Cerpen Tarian Gagak di Atap Rumah Kami, Dimuat di Majalah Derap Guru Edisi Desember 2017


cerpen-majalah-derap-guru
Add caption
“Mas, kalau aku yang mati, aku harap kau bersedia memakamkan jasadku di kaki Gunung Slamet, di sebelah makam orangtuaku,” kataku ketika kami berbaring di tempat tidur kala malam semakin larut. Aku yakin, kami sedang sama-sama memikirkan tiga burung gagak yang terbang melingkar tepat di atap rumah kami tadi sore.
            Suamiku diam. Meskipun aku membelakanginya, aku yakin, ia sedang menghadap ke langit-langit kamar, tepat ke lampu neon yang cahayanya meredup, kebiasaannya ketika gelisah.
            “Bulan kemarin, Mas masih ingat? Ada tiga burung gagak terbang melingkar juga di atap rumah Bu Rida, sorenya Si Sigit, anak bungsu Bu Rida ditemukan mati gara-gara hanyut di Sungai Comal.”
            “Tidak akan ada yang mati, Han. Aku tidak akan mengizinkanmu lenyap dari sisiku. Kalau pun di antara kau dan aku memang terpilih untuk mati, kita masih punya pilihan lain.” Lengan kekarnya mememutar pinggangku, sehingga tubuhku yang tetap ramping dari dulu menghadap dadanya yang bidang. Dia mengecup keningku, lantas berkata, “Kita akan hidup bersama, dan mati bersama, itu pilihan yang terbaik.”
            “Setidaknya kalau aku dimakamkan di sebelah makam orangtuaku, aku merasa akan bahagia dan tenang, setenang saat aku masih kanak-kanak.”
            “Jadi, selama ini kau tak bahagia dan tak tenang hidup bersamaku?”
            “Bukan, Mas. Aku bahagia bersamamu, tetapi selama ini, aku mencari sebuah ketenangan. Namun, aku belum menemukannya. Mungkin, jika jasadku dimakamkan di sebelah orangtuaku, aku akan merasakan tenang, merasa orangtuaku telah memaafkanku.”
            “Seharusnya orangtuamu yang meminta maaf padamu, Han. Sebab mereka yang berdosa karena tidak merestui hubungan cinta kita yang amat suci, dengan jahat ia mengusirmu, dan tidak menganggapmu anak lagi.”
            “Tetapi, kitalah yang salah ....”
            “Sudahlah, tidak usah diungkit lagi!”
            ***
            Aku menatap atap rumah, dan mengingat  tiga burung gagak terbang melingkar di atap sore kemarin. Kalau bukan kemarin, apakah hari ini waktu kematian di antara kami? Setengah hari lagi, sejam lagi, atau semenit lagi? Ah, semoga saja, aku yang terpilih mati, bukan suamiku. Kalau bisa sekarang saja, mumpung suamiku sudah berangkat nyupir.
Ada dua anak perempuan berseragam taman kanak-kanak berlarian di jalan depan rumah. Kusentuh perutku yang terasa sedingin rahim kesepian, tak pernah disapa janin yang riang. Rahim inilah menjadi pemicu pertengkaran suami dan mertuaku. Juga, menjadikanku dipandang amat menyedihkan oleh masyarakat sebagai wanita mandul. Tetapi, hatiku lebih parah tertusuk ketika Lik Roro bilang, rahimku yang beku ini karma sebab telah durhaka kepada orangtua ....
Kupotong suara Lik Roro dalam kenangan. Lantas kutatap kembali atap rumah, membayangkan lingkaran burung gagak kemarin sore. Lingkaran itu seperti menelanku, tepat ketika sepuluh tahun lalu di ruang keluarga. Kala itu, ruang yang seharusnya menyatukan, malah menghancurkan.  Aku berdiri menantang di tengah-tengah ruangan. Hati ini sudah kukakukan tepat ketika aku bilang, aku tak butuh restu kalian untuk menikahi lelaki berpunggung hangatku. Telingaku juga sudah kutulikan. Hingga suara isakan Ibu yang amat ngilu tak kuhiraukan. Bahkan ketika Bapak memporak-porandakan lemari, melemparkan pakaian-pakaian tepat di wajahku. Otakku telah kupenuhi kekuatan cinta kepada lelaki berpunggung hangat itu, sama sekali tak mempermasalahkan.
Dulu, kaca-kaca air mataku sudah kubatukan. Tak mengalir meski orangtua atau keluarga tak menghadiri pernikahanku  yang disahkan oleh pastur dan pengulu. Pun, ketika Bapak meninggal akibat stroke seminggu kemudian setelah aku menikah, lalu disusul Ibu yang meninggal setelah overdosis. Tetapi, suamiku tak mengizinkanku untuk melihat keduanya dikubur. Dan, aku pun diam saja. Sebab alasan ia melakukan itu, karena ia amat mencintaiku dan tidak ingin telingaku semakin terluka oleh ancaman mulut masyarakat kota lahirku tentang kehidupanku.
Aku menutup mataku, menyatukan kembali perkataan Lik Roro, itu karma karena kau melanggar larangan Tuhan. Tuhan mungkin marah padamu, sehingga Ia tak mengizikan janin menyentuh rahimmu. Dulu, aku menentang perkataan Lik Roro itu. Namun sekarang, aku sadar bahwa lelaki berpunggung hangat itu sungguh haram untukku.
Semoga saja, aku yang terpilih mati, bukan kau, lelaki berpunggung hangat.
***
Sore itu, suamiku menjerit ketika tubuhku jatuh dari pohon melinjo dan kepalaku membentur batu. Aku tersenyum, menatap sarang pada ranting pohon melinjo. Setidaknya, seekor bayi burung malang yang jatuh ke tanah sempat mempulangkannya ke sarang.(*)
                                                                  
Zahratul Wahdati,
Alumni UPGRIS 2017

Karya cerpen di atas dimuat di Majalah Derap Guru Edisi Desember 2017

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 ZAHRATUL WAHDATI
| Distributed By Gooyaabi Templates