Jumat, 06 November 2015

Cernak Kakakku Dokter di Pedalaman dimuat di Kompas Klasika Nusantara Bertutur 18 Oktober 2015

Heloo sahabat Diy Ara :) mau cerita sedikit tentang cernak ini. Cernak ini pertama kalinya nembus nusantara bertutur. Kedua kalinya nembus media nasional. Yang penting jangan pantang menyerah teman-teman, ditolak kirim lagi. Pasti deh, suatu saat, cernakmu yang akan nongol di Nubi.


Awalnya, ara nggak punya ide tema Hari Dokter Nasional ini. Jujur ide ini baru muncul pukul tujuh. Saat browsing-browsing masalah-masalah dokter. Eh keluarlah berita dokter meninggal di pedalaman karena malaria. Wah masih ada waktu beberapa jam kan DLnya pukul dua belas malam. Ngebuutttt deh! Sampai-sampai cuma direvisi dikit doang, biasanya kalo mau ngirim pasti minta dikritik saran dulu sama temen. Yah tapi nggak ada waktu, Akhirnya bismillah go! Kirim deh. Dan nggak nyangka dimuat.

Terimakasih buat Kak Ganda yang pertama kali memberitakukan cernak ini dimuat dan terimakasih untuk semuanya.

Cernak ini aku hadiahkan untuk adikku Diy! Orang yang selalu menjadikanku kuat!

Oh, ya, judulnya, diganti sama Nubi. Dan ini naskah aslinya.


Dokter Manis di Weime
Oleh: Diy Ara

            Sejak pulang sekolah, Rara duduk di dekat telepon rumah. Beberapa kali, ia menatap telepon itu, lalu berbisik,“Kak Dilan, Rara kangen.” Sayangnya, telepon itu tetap tidak berdering. Rara menjadi kesal.
“Andai Rara punya kakak kayak kakaknya Sena. Seorang polisi hebat, yang selalu mengantar Sena ke sekolah.”
“Kak Dilan dokter yang hebat, lho!” seru Mama.
“Dokter hebat harusnya ada di rumah sakit. Tidak di hutan seperti Kak Dilan.” protes Rara. “Kak Dilan malahan tidak punya waktu, sudah sebulan Kak Dilan tidak menelepon.”
 Mama mengusap rambut panjang Rara. “Kak Dilan pasti kangen Rara. Tetapi, Kak Dilan kan, sekarang tinggal di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Tepatnya di Disktrik Weime. Itu daerah pedalaman, tidak ada listrik, sinyal, wartel, dan fasilitas lainnya. Jadi, kalau mau telepon kita, Kak Dilan harus pergi ke kota dulu.”
Tiba-tiba telepon berdering. Rara lekas mengangkat telepon itu. Suara Kak Dilan menyapa. Rara berteriak girang.
“Kak Dilan harus pulang! Kalau tidak, Rara tidak mau ngomong sama Kakak lagi!”
“Rara jangan ngambek, dong! Kak Dilan kangen sekali suara imut Rara.” bujuk Kak Dilan di sambungan telepon. “Kakak mau cerita. Hari ini, Kakak senang sekali, akhirnya Bonai tersenyum.”
“Siapa itu Bonai?” tanya Rara penasaran.
“Bonai itu salah satu pasien Kakak. Dia terkena malaria. Syukurlah, sekarang ia sudah sembuh. Tempat yang Kakak tinggali ini banyak sekali penduduk yang meninggal karena malaria. Soalnya, jarak dari sini ke rumah sakit sangat ... jauh. Jadi mereka telat ditangani.” cerita Kak Dilan.
“Kasihan sekali. Berarti Kakak harus jaga kesehatan, nanti kalau Kak Dilan sakit, siapa yang mengobati mereka?”
“Eem, Kakak minta maaf, ya ... karena Kakak tidak ada di samping Rara.”
Rara merasa bersalah. Seharusnya, ia mendukung Kak Dilan. Soalnya, menjadi dokter di pedalaman adalah tugas berat dan sangat mulia.  “Tidak apa-apa, Kak. Rara paham sekarang. Dibandingkan Rara, penduduk di Weime lebih membutuhkan Kak Dilan. Kakak harus ada di samping mereka, dan mengobati mereka sampai sembuh! Janji, ya, sama Rara!”
“Janji! Doain Kakak, ya!”
“Pasti, Dokter manis! Semanis permen yang membuat orang-orang tersenyum. Rara bangga sekali punya Kakak sehebat Kak Dilan!” seru Rara semangat. “Kalau sudah dewasa nanti, Rara mau jadi Dokter Manis. Menyelamatkan nyawa orang lain dan membuat mereka tersenyum!”
“Kakak bangga sama Rara!”(*)
Hikmah cerita:
Menjadi dokter di pedalaman adalah pekerjaan yang berat dan sangat mulia. Dengan adanya bantuan dokter, nyawa saudara-saudara kita di pedalaman terselamatkan. Kita harus berterimakasih kepada jasa para dokter.

Jangan lupa tinggalin jejak cantikmu di kolom komentar :) Salam Bismillah Go!



2 komentar:

Copyright © 2015 ZAHRATUL WAHDATI
| Distributed By Gooyaabi Templates