Kamis, 24 Maret 2016

Cernak Detektif Air




Detektif Air
Oleh: Diy Ara

            Suatu sore, di salah satu desa di Pemalang. Jawa Tengah, seorang anak perempuan bernama Sala, diam-diam mengikuti langkah Kak Zita.
“Jangan sampai aku ketahuan.” ujar Sala yang berumur sebelas tahun.
 Sudah seminggu ini, Sala penasaran dengan Kak Zita, mahasiswa yang rumahnya di sebelahan rumah Sala. Sebab, Kak Zita punya hobi aneh, mengoleksi air dari sumur-sumur penduduk. Tak terkecuali sumur rumah Sala.

            Kali ini, tidak seperti biasanya, Kak Zita tidak masuk ke rumah penduduk. Ia malah menuju sungai kecil. Sala melihat Kak Zita mengisi botol bening dengan air pancuran, yang mengalir dari mata air yang persis berada di pinggir sungai.
            Sala menjadi semakin bertanya-tanya dalam hati. Untuk apa, sih, air-air itu?
Tiba-tiba, Sala merasa ada sesuatu yang mengeliat di kakinya. “Cacing!” teriak Sala ketakutan sambil melompat-lompat hingga cacing itu terlempar.
            Kak Zita tertawa, lalu menghampiri Sala. Sala menunduk malu karena ketahuan mengikuti  Kak Zita.
            “Ayo pulang, Sala!” ajak Kak Zita ramah. Sala pun berjalan di samping Kak Zita.
“MAS?” tanya Sala bingung melihat Kak Zita menuliskan “MAS” di botol air dengan spidol.
            “Oh, ini singkatan dari Mata Air Sungai. Kakak memang biasa menyingkat nama-nama air yang Kakak ambil, biar lebih mudah menuliskan dan mengenalinya.”
            “Oh, hobi Kak Zita aneh, ya? Suka mengoleksi air dan dikasih nama juga. Seperti hewan peliharaan saja dikasih nama.”
            “Hahaha! Kakak bukan mengoleksi air, Sala. Kakak sedang menyelidiki kualitas air.”
            “Hah? Menyelidiki?” Sala tampak bingung.
            “Iya, emm, seperti dektektif. Detektif air!” seru Kak Zita. “Kamu mau juga jadi dektektif air, Sala? Kalau mau, ayo ikut Kakak ke rumah.”
            Sala mengangguk semangat.
            Sesampainya di rumah Kak Zita, Sala terkejut melihat gelas-gelas berkode berisi air tersusun rapi di rak-rak.
            “Pekerjaan detektif air itu apa saja, Kak Zita?” tanya Sala sambil mencium beberapa gelas berisi air berwarna cokelat keemasan. Baunya seperti teh. Ia juga melihat di gelas lain, ada yang airnya berwarna ungu, hitam, dan biru.
            “Ini dia tugas detektif air.” Kak Zita menuangkan air yang ia ambil dari mata air dekat sungai tadi ke gelas. “Menyelidiki kualitas kandungan kimia di dalam air dengan menggunakan air teh!”
            Sala antusias memperhatikan Kak Zita mencampurkan air sungai dengan air teh.
            “Perbandingannya satu gelas kecil air sungai dan dua gelas kecil air teh, ya! Lalu diamkan air campuran ini satu malam dalam keadaan terbuka, jelas Kak Zita.
            “Terus setelah satu malam air didiamkan, apa yang terjadi, Kak?”
“Kalau airnya berubah warna, berlendir, dan ada lapisan seperti minyak di permukaannya. Berarti airnya tidak baik digunakan.”
            “Oh, Sala tidak menyangka, air teh bisa mengetes kualitas air.”
            “Sekarang sudah tahu, kan? Semakin cepat perubahan yang terjadi pada air teh menunjukkan semakin tinggi kandungan kimiawi air tersebut. Bila  baru berubah setelah pengamatan satu malam, kandungan kimiawinya lebih sedikit, namun tetap air itu kurang baik dikonsumsi. Tapi masih bisa untuk mandi, mencuci, dan lain-lain.”
            “Kalau dilihat dari perubahan warnanya, gimana, Kak?”
            “Bila air warnanya tetep seperti air teh, maka secara kimia kualitas air itu baik. Tetapi, jika warnanya ungu, hitam, dan biru berarti kualitas air buruk, tanda air itu mengandung tingkat kesadahan dan kandungan logam yang tinggi. Kalau tetap mengonsumsinya, akan berdampak buruk bagi tubuh kita.”       
            “Oh, ya, kemarin Kak Zita mengambil air di sumur rumah Sala kan? Gimana hasilnya, Kak? Pasti airnya layak dikonsumsi kan, Kak? Soalnya warnanya bening dan tidak berbau.” kata Sala yakin.
            “Warnanya tidak berubah. Tetap warna air teh.” Kak Zita memperlihatkan gelas berkode SBK, sumur Bu Kina, ibu Sala. “Tetapi belum tentu, warna air yang bening dan tidak berbau itu layak dikonsumsi, Sala.”
            “Terus, harus diselidiki lagi, ya, Kak?”
            “Bener,  masih harus diselidiki secara biologi.” Kak Zita mengambil botol tertutup berkode SBK. “Air sumur Sala sudah Kakak diamkan selama lima hari. Lihat! Ada gumpalan berwarna hijau. Ini berarti air sumur Sala mengandung bakteri. Ini terjadi karena toilet Sala dekat dengan sumur. Jadi air rembesan dari toilet merembes ke sumur. ”
            “Yah ...” Sala cemberut. “Nanti, Sala bilang sama Papa agar memindahkan toilet jauh dari sumur saja.”
            “Tidak perlu seperti itu, Sala. Kakak punya cara yang mudah.” Kak Zita membisikkan sesuatu di telinga Sala. Membuat Sala tersenyum cerah.
            Beberapa hari kemudian, Sala tersenyum senang melihat tempat penampung air di atap rumahnya. Warnanya oranye. Kemarin Papa yang memasangnya bersama Om sesuai permintaan Sala. Sala ingat bisikan Kak Zita kalau  menyimpan air selama sehari akan mematikan 50% bakteri. Tetapi, air tetap harus dimasak sebelum dikonsumsi.
            Sala memandang rumah Kak Zita. Hari ini, Kak Zita sudah kembali kuliah di Semarang. Kini, giliranku menjadi detektif air dan mengajak teman-teman  untuk menguji air sebelum dikonsumsi, agar tubuh mereka tetap menjadi sehat. Janji Sala dalam hati.(*)
Universitas PGRI Semarang, 2015






0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 ZAHRATUL WAHDATI
| Distributed By Gooyaabi Templates