Selasa, 05 Januari 2016

Opini Sopir Angkot Baca Koran, Mahasiswa Baca Status


Opini Dimuat di Koran Rakyat Jateng, 30 Desember 2015 "Sopir Angkot Baca Koran, Mahasiswa Baca Status"

Ini karya yang dimuat sebagai penutup 2015, dan menggenapi karyaku yang dimuat di media menjadi 10 karya. 3 opini dan 7 cernak. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membantuku sampai sekarang. Awalnya opini ini berjudul "Belajar Budaya Membaca dari Sopir Angkutan Umum" lalu diganti oleh redaksi.


Oleh Zahratul Wahdati

Membaca adalah salah satu keterampilan dari empat keterampilan berbahasa yang harus dimiliki oleh calon guru. Meskipun mahasiswa dituntut untuk menguasai keterampilan tersebut, tetapi kesadaran mahasiswa akan pentingnya membaca masih jauh dari baik, bisa dikatakan memprihatinkan. Mahasiswa harus dipaksa terlebih dahulu oleh dosen dengan pelbagai tugas, sehingga mereka mencari buku di perpustakaan, membeli buku, akhirnya membaca buku atau referensi lain. Mahasiswa juga terpaksa membaca buku dengan jurus kebut semalam karena besok ulangan. Tetapi, di luar itu, budaya malas membaca sangat melekat pada mahasiswa.
Budaya malas membaca yang melekat pada mahasiswa ini dapat dibuktikan dari berbagai kebiasaan sejumlah besar mahasiswa. Misalnya, kebiasaan mahasiswa yang lebih sering menggenggam telepon genggam dibandingkan buku. Ya, telepon genggam di mata mahasiswa lebih penting bisa dikatakan sebagai kebutuhan primer, dibandingkan buku yang dianggap mahasiswa sebagai kebutuhan sekunder. Padahal kita tak asing lagi dengan selogan, buku adalah jendela dunia. Kebiasaan ini menjadi masalah besar yang menjadi akar kuat budaya malas membaca.
Akar kuat budaya malas membaca pada mahasiswa, sangat timpang dengan budaya membaca sopir-sopir angkutan umum. Ketika sedang menunggu penumpang, agar tidak bosan, para sopir angkutan umum sibuk menjelajah dan mendapatkan informasi terbaru dari bacaan-bacaan dan berita-berita yang tersaji dalam koran. Berbeda jauh dengan kebiasaan kebanyakan mahasiswa ketika menunggu, mereka cenderung akan asyik bermain dengan telepon genggam, membarui status akun media sosial, BBM-an, dan sebagainya. Sehingga, sopir angkutan umum lebih tahu berita terbaru mengenai masalah-masalah dan kejadian-kejadian di Indonesia bahkan manca negara karena membaca koran, sedangkan mahasiswa lebih tahu mengenai status atau hal yang dilakukan teman-temannya melalui akun media sosial.
Sopir angkutan umum  juga rela sedikit menyisihkan uang penghasilannya untuk berlangganan koran setiap pagi agar mereka memiliki bahan bacaan. Sedangkan kebanyakan mahasiswa  tidak rela uang bulanannya terpotong sedikit untuk membeli koran atau buku. Padahal, jelas kebutuhan sopir angkutan umum lebih besar dibandingkan mahasiswa. Tidak seperti mahasiswa yang uang bulanan cukup dan uang itu hanya untuk dirinya sendiri, Sopir angkutanumum bukan hanya membiayai dirinya tetapi juga keluarganya. Tetapi, ia menyisihkan kurang lebih tiga ribu rupiah per hari untuk membeli koran.
Seharusnya, mahasiswa yang tak lain adalah masyarakat intelektual akan tertampar keras dan malu dengan fenomena bahwa sopir angkutan umum memiliki budaya membaca yang baik, dibandingkan mahasiswa. Sopir angkutan umum tanpa diperintah, tanpa dipaksa, mereka membaca, bahkan menjadikan membaca sebagai kebiasaan sehari-hari. Padahal, bagi sopir angkutan umum membaca hanya sebagai hiburan, lebih dari itu membaca bagi mahasiswa adalah bekal penting, karena dari keterampilan membaca, bisa membantu keterampilan-keterampilan berbahasa yang lain. Misalnya, keterampilan berbicara.
Dengan membaca, mahasiswa akan lancar berbicara di depan umum. Seperti kita ketahui fungsi membaca antara lain mendapatkan informasi dan pengetahuan. Dengan kebiasaan membaca berbagai jenis buku, calon guru akan mudah menyambungkan perkataannya dengan pengetahuan dan informasi yang didapatkan dari membaca. Semakin banyak bacaan, semakin lancar berbicara calon guru karena materi yang dikuasahi bejibun, tinggal dipilih pengetahuan dan informasi yang cocok dengan topik yang dibicarakan.
Sebagai mahasiswa, khususnya calon guru, membaca bukan hanya untuk memperlancar berbicara, namun juga menciptakan dan menjadikan akar kuat budaya membaca bagi anak didiknya kelak, generasi penerus bangsa Indonesia. Ya, sebagai guru yang profesional dan berdedikasi, sepatutnya tidak hanya menyuruh murid-muridnya untuk membaca, akan tetapi juga memberi contoh. Sehingga, sebagai calon guru harus memiliki niat dan kesadaran untuk memulai kebiasaan membaca yang harus mulai ditanam sejak sedini mungkin, seperti halnya saat masih kuliah. Sehingga nanti, jika sudah menjadi guru dapat memberi contoh baik. Menularkan kebiasaan membacanya pada murid-murid dan orang lain dalam lingkungan akademisnya. Maka sepatutnya, mahasiswa, kita semua, belajar dari budaya membaca sopir angkutan umum.

Zahratul Wahdati, mahasiswa PBSI Universitas PGRI Semarang. Pegiat UKM KIAS dan Serambi Perpus.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 ZAHRATUL WAHDATI
| Distributed By Gooyaabi Templates