Rabu, 31 Maret 2021

Review Buku: Eksploitasi Anak Terlantar dan Impian Sederhana Mereka

 



Judul Buku       : Kereta Malam Menuju Harlok

Penulis             : Maya Lestari GF

Penerbit          : Indiva Media Kreasi

Tebal               : 144 halaman

ISBN                 : 978-623-253-017-1

Harga              : Rp45.000,-


Mengangkat tema yang tidak mainstream, novel Kereta Malam Menuju Harlok mengajak kita beranjak dari kebiasaan menikmati sisi cerah dunia anak untuk menilik sisi paling suramnya. Bahwa sebenarnya, masih banyak anak yang tidak bahagia, tidak mendapatkan haknya, dan tidak ada yang peduli, seperti tokoh Tamir dan kawan-kawan. Mereka ditelantarkan orangtuanya dan tinggal di Kulila, sebuah panti asuhan. Namun sayangnya, Kulila juga tidak menjamin mereka bahagia.

“Semenjak Amang resmi menjadi satu-satunya pegawai Kulila, anak-anak panti asuhan disuruh mengamen atau mengemis.” (hal. 17)

Kutipan tersebut menghadirkan perenungan bahwa eksploitasi anak terpampang jelas di depan kita. Selama ini tindakan kita terhadap masalah itu adalah memberi uang, lalu meninggalkan mereka yang masih mengemis dan mengamen.

Kita juga disuguhi luka demi luka yang dialami oleh Tamir dkk. Dimulai dari cerita mereka ditinggalkan orangtuanya serta satu-satunya pegawai Kulila, Amang. Hingga tidak ada lagi orang dewasa tempat mereka berlindung. Padahal impian Tamir dan kawan-kawannya sangat sederhana, yaitu memiliki keluarga. “Bagaimana rasanya bisa mencium tangan ayah dan ibu saat hari raya idul fitri?” (hal. 12)

Sayangnya, impian sederhana itu seakan mustahil. Tidak ada yang mau mengadopsi mereka, sebab mereka semua cacat. Tamir hanya memiliki sebelah mata dan sebelah kaki, dan anak-anak lain tak jauh berbeda. Di tengah kesedihan itu, harapan datang sewaktu kereta malam membawa Tamir menuju Harlok.

“Kereta itu bernama kereta malam. Kereta khusus anak telantar. Tugas kereta itu satu, mengantar si anak telantar ke rumahnya.” (hal. 26)

Kereta merupakan simbol perjalanan adopsi yang memberikan harapan. Namun tidak semua adopsi berjalan sesuai impian, banyak pula yang membuat anak lebih sengsara, seperti yang dialami Tamir. Akibatnya Tamir bukan mendapat kehidupan layak, malah sebaliknya dijadikan pekerja tambang oleh orangtua angkatnya Vled. Tamir tidak sendiri, ada puluhan anak lain yang diadopsi Vled. Vled mendirikan panti asuhan sebagai kedok untuk memuluskan niat jahatnya

Novel ini menggambarkan kembali kekejaman eksploitasi anak. Tokoh Vled yang mempekerjakan anak-anak demi merauk keuntungan untuk dirinya sendiri nyatanya ada banyak di kehidupan nyata. Ekploitasi anak di tambang, tidak hanya memaksa Tamir CS bekerja untuk menghasilkan batu seruni setiap hari. Akan tetapi, mereka juga mendapat siksaan. Mulai mendapat makanan yang tidak layak, sup bawang putih dan jamur, dan tentu saja mereka tidak lepas dari hukuman.

“Anak yang batunya kurang akan tinggal di dalam gua tambang, sampai semua teman-temannya berhasil menebus dengan jumlah batu yang ditentukan.” (Hal. 86)

Tamir mememiliki keinginan melawan. Sayangnya keluar dari area tambang tidaklah mudah. Vled memelihara singa kabut yang buas. Kesempatan emas mendapatkan bantuan hadir sewaktu Inspektur Jal dari Departemen Anak Telantar datang menginpeksi panti asuhan milik Vled. Tetapi, Vled telah mengancam anak-anak agar memberikan kesan baik dan bungkam mengenai tambang. Apalagi, Rupi, anak perempuan Baz, mandor yang baik hati, dikurung di ceruk tambang.

Diam-diam, Tamir mengangkat tangannya, agar pegawai inpeksi melihat luka-luka di tangannya. Ide Tamir itu berhasil, hingga membuat pihak departemen meminta rekam ulang di lain hari. Sayangnya, ini membuat Vled marah besar. Rupi akan dikurung selama masalah ini belum selesai.

“Sampai kapan kita akan berada di sini, Badur?” tanyanya.

“Sampai mati.”

“Lalu, mengapa tidak berjuang?” (hal. 125-126)

Dialog yang sangat cerdas itu menjadi bukti. Setelah luka demi luka yang dihadirkan orang dewasa, anak-anak itu menjadi sosok tanggung yang mampu bangkit dari keterpurukan dan berani melawan ketidakadilan. Penulis novel ini benar-benar piawai mengajak pembaca melihat perkembangan karakter tokoh. Itulah yang dibutuhkan pembaca anak-anak yang sedang berkembang dan novel ini mampu menyajikannya.

Menariknya lagi, keberanian Tamir untuk melawan mampu menggerakkan keberanian Baz, tokoh dewasa untuk melawan Vled. Peran Baz tidak dominan. Dia hanya sebagai peran pembantu. Peran utama yang menyelesaikan masalah tetaplah dipegang Tamir. Mereka mulai menyelamatkan Rupi di ceruk tambang. Namun dipergokki Vled.

Sampai terjadilah kejar-kejaran mobil dan Vled memenangkannya. Di bagian ini, penulis mampu menciptakan ketegangan pada pembaca. Tokoh utama terpojok. Di saat itu, Tamir memencet tombol hingga pintu jembatan ke hutan kabut terbuka. Hutan tempat singa kabut tinggal. Ternyata singa kabut itu baik dan bersahabat dengan Tamir.

Singa kabut bisa diartikan simbol ketakutan yang dimiliki anak-anak, khususnya Tamir. Ketika kita sudah berani bertemu dan bersahabat dengan ketakutan. Ketakutan itu bisa berubah menjadi kekuatan yang mengalahkan kejahatan, yaitu Vled.

Novel ini berakhir bahagia. Tamir Kembali ke Kulila dan terkejut dengan kehadiran ketua Yayasan Kulila yang baru, Pak Basuki dan anak perempuannya. Kedua orang itu mirip Baz dan Rupi. Mimpi Tamir terwujud, dia memiliki bapak asuh. Anak-anak telantar seperti Tamir, mereka tidak butuh banyak orang, cukup satu orang yang peduli dan menjadi orangtua mereka.

Tidak ada yang sempurna, novel ini juga memiliki sedikit kesalahan penulisan. Seperti kesalahan ketik dan jarak spasi yang terlalu jauh pada dialog di halaman 137. Namun itu masalah kecil yang tidak merusak keistimewaan novel ini. Novel ini sungguh berhasil mengangkat tema berat tentang eksploitasi anak dengan kemasan bahasa ringan khas anak-anak.

 

 

 

Peresensi:

Zahratul Wahdati, bisa dihubungi di akun twitter @zahrawdt.

 


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 ZAHRATUL WAHDATI
| Distributed By Gooyaabi Templates