Cerita Anak Ranila Kurcaci Penulis
Dimuat 9 April 2017 di Koran Solopos
Ranila Kurcaci Penulis
Oleh: Zahratul Wahdati
“Pagi ini, aku akan bercerita
tentang mimpiku,” kata Ranila Kurcaci,
sambil membuka jendela rumah jamurnya. Tetapi betapa terkejut Ranila, melihat
tanaman di halaman rumahnya mengering. Kemarau di Negeri Kalala semakin panjang
dan parah. Apa lagi, semenjak para kurcaci membakar hutan untuk membuka ladang.
“Pohon gandasaku!” Ranila berlari
menuju halaman belakang. Ternyata apa yang ia khawatir terjadi. Daun-daun
gandasa yang biasanya tumbuh lebat, kini hanya ada beberapa tangkai. Banyak
daun yang kering dan berguguran.
“Oh, tidak! Bahkan daun-daun
gandasaku yang putih bersih kini berwarna kecokelatan.” ujar Ranila kecewa
melihat daun gandasa yang ia petik. “Kalau aku menuliskan ceritaku di sini,
pasti tidak menarik dan tidak akan ada yang mau membaca dan membelinya.”
“Aku harus bertindak!” Ranila
membawa tas berisi bekal makanan, lalu pergi menuju pinggir hutan.
“Komara, tolong hentikan membakar
hutan lagi!” mohon Ranila kepada kurcaci tetangganya itu.
“Aku harus melakukannya, kalau tidak,
aku tidak punya lahan untuk menanam semangkaku.”
“Kau tidak sadar, gara-gara membakar
hutan, negeri kita mengalami kekeringan panjang. Membuat sumber air langka!”
“Kenapa kau menyalahkanku. Lihat! Para
kurcaci lain juga melakukan hal yang sama. Tetapi kenapa kau tidak memarahi
mereka juga?” Komara tampak kesal.
Ranila juga ingin memeringatkan para
kurcaci lain, tetapi ia tak berani.
“Semangkaku
juga tidak terlalu butuh air. Tanpa air, semangkaku malah semakin manis.”
“Tetapi
pohon gandasaku butuh air agar daun-daun putihnya lebat kembali. Sehingga, aku
bisa menulis ceritaku dan menjualnya.”
“Hahaha!
Berhentilah menulis, bukankah cerita-ceritamu kurang laku. Ceritamu hanya
berisi khayalan mimpimu. Sungguh tidak menarik!”
Ranila
sedih mendengarnya. Ia memutuskan meninggalkan Komara. Sambil berjalan menuju
tengah hutan, ia merenungkan perkataan Komara. Selama ini memang ceritaku
kurang laku, tetapi aku akan tetap menulis, karena menulis membuatku bahagia.
Batin Ranila.
“Aku
harus mencari bibit pohon gandasa, nanti akan kutanam di pinggir sungai, agar
tidak kekurangan air.” Ranila menyapu pandangannya memerhatikan tanaman-tanaman
di hutan. Ia berharap menemukan bibit gandasa. “Ah, aku lupa! Nenek pernah
berpesan padaku, aku harus menjaga pohon gandasa yang ditanam Nenek di halaman
rumahku, karena pohon itu bibit terakhir yang Nenek temukan di hutan Negeri
Kalala.”
Uhuk-uhuk!
Ia terbatuk karena asap berembus ke arahnya. Ranila merasa dadanya semakin
sesak. Ia segera menutup hidungnya dengan kain.
“Udara
semakin tidak sehat. Bahkan di dalam hutan pun udaranya terasa panas.”
Perut
Ranila berbunyi. Ketika Ranila akan menyantap kue doro, kue keras berbentuk
bola, kakinya tersandung, hingga kue di tangan Ranila terlempar ke semak-semak.
Ranila
tertegun ketika membuka semak-semak. Dilihatnya
kepompong-kepompong besar berwarna putih bergantungan di tangkai semak. Ada
satu kepompong bergerak-gerak. Perlahan kupu-kupu berwarna biru keluar dari
kepompong, lalu terbang.
“Itu
kupu-kupu Faranda! Kupu-kupu langka yang selalu keluar serempak dari kepompong
masing-masing!” Dengan antusias Ranila menunggu kupu-kupu keluar dari kepompong
lain. Namun sudah ditunggu lama, kepompong-kepompong yang lain tidak bergerak. Ranila
menyentuh kepompong itu. Ternyata kepompong itu sudah kering. Pantas saja
kupu-kupu di dalam kepompong mati.
Ranila sedih bercampur marah. “Aku harus menceritakan kejadian ini kepada
para kurcaci, mereka harus bertanggung jawab!” Ranila mengambil
kepompong-kepompong sebesar kepalan tangannya
itu. Lalu dengan penanya, ia menuliskan cerita berjudul Hutan Sakit. Tengah
malamnya, ia diam-diam meletakan kepompong berisi cerita itu di setiap pintu
rumah para kurcaci.
Saat pagi hari, para kurcaci ribut
berbincang mengenai cerita dalam kepompong. Ranila memperhatikan mereka.
“Ah, mana mungkin hutan sakit! Ini
pasti hanya cerita karangan saja,” ujar Komara. Para kuraci setuju, mereka
tidak peduli dengan cerita kepompong itu.
Namun,
Ranila tetap menulis kelanjutan cerita dalam kepompong dan setiap malam ia
meletakan kepompong itu di depan pintu rumah para kurcaci.
“Hahaha
ceritanya semakin lucu, katanya hutan semakin sekarat dan sebentar lagi mati,”
komentar Komara.
“Kebakaran!
Hutan terbakar!” teriak seorang kurcaci.
Para
kurcaci berduyun-duyun menuju hutan, dengan sangat keras mereka mencoba
memadamkan api yang membakar hutan, dan tanaman kebun mereka. Setelah itu, para
kurcaci Negeri Kalala kebingungan. Asap semakin tebal, air semakin langka,
hewan ternak mereka juga banyak yang mati.
Di
tengah malam, sebuah kepompong tergeletak di depan rumah para kurcaci.
Kepompong itu berisi cerita berjudul sembuhkan hutan, yaitu dengan tidak
membakar hutan, menanam kembali pohon-pohon, dan merawatnya. Ranila
beristirahat di pohon gandasa. Ia berdoa semoga ceritanya dalam kepompongnya
kali ini, akan menyadarkan para kurcaci untuk menjaga hutan.(*)
0 komentar:
Posting Komentar