Minggu, 16 April 2017

Cerita Anak Ranila Kurcaci Penulis


Dimuat 9 April 2017 di Koran Solopos


Ranila Kurcaci Penulis
Oleh: Zahratul Wahdati


            “Pagi ini, aku akan bercerita tentang mimpiku,”  kata Ranila Kurcaci, sambil membuka jendela rumah jamurnya. Tetapi betapa terkejut Ranila, melihat tanaman di halaman rumahnya mengering. Kemarau di Negeri Kalala semakin panjang dan parah. Apa lagi, semenjak para kurcaci membakar hutan untuk membuka ladang.
            “Pohon gandasaku!” Ranila berlari menuju halaman belakang. Ternyata apa yang ia khawatir terjadi. Daun-daun gandasa yang biasanya tumbuh lebat, kini hanya ada beberapa tangkai. Banyak daun yang kering dan berguguran.
            “Oh, tidak! Bahkan daun-daun gandasaku yang putih bersih kini berwarna kecokelatan.” ujar Ranila kecewa melihat daun gandasa yang ia petik. “Kalau aku menuliskan ceritaku di sini, pasti tidak menarik dan tidak akan ada yang mau membaca dan membelinya.”
            “Aku harus bertindak!” Ranila membawa tas berisi bekal makanan, lalu pergi menuju pinggir hutan.
            “Komara, tolong hentikan membakar hutan lagi!” mohon Ranila kepada kurcaci tetangganya itu.
            “Aku harus melakukannya, kalau tidak, aku tidak punya lahan untuk menanam semangkaku.”
            “Kau tidak sadar, gara-gara membakar hutan, negeri kita mengalami kekeringan panjang. Membuat sumber air langka!”
            “Kenapa kau menyalahkanku. Lihat! Para kurcaci lain juga melakukan hal yang sama. Tetapi kenapa kau tidak memarahi mereka juga?” Komara tampak kesal.
            Ranila juga ingin memeringatkan para kurcaci lain, tetapi ia tak berani.
“Semangkaku juga tidak terlalu butuh air. Tanpa air, semangkaku malah semakin manis.”
“Tetapi pohon gandasaku butuh air agar daun-daun putihnya lebat kembali. Sehingga, aku bisa menulis ceritaku dan menjualnya.”
“Hahaha! Berhentilah menulis, bukankah cerita-ceritamu kurang laku. Ceritamu hanya berisi khayalan mimpimu. Sungguh tidak menarik!”
Ranila sedih mendengarnya. Ia memutuskan meninggalkan Komara. Sambil berjalan menuju tengah hutan, ia merenungkan perkataan Komara. Selama ini memang ceritaku kurang laku, tetapi aku akan tetap menulis, karena menulis membuatku bahagia. Batin Ranila.
“Aku harus mencari bibit pohon gandasa, nanti akan kutanam di pinggir sungai, agar tidak kekurangan air.” Ranila menyapu pandangannya memerhatikan tanaman-tanaman di hutan. Ia berharap menemukan bibit gandasa. “Ah, aku lupa! Nenek pernah berpesan padaku, aku harus menjaga pohon gandasa yang ditanam Nenek di halaman rumahku, karena pohon itu bibit terakhir yang Nenek temukan di hutan Negeri Kalala.”
Uhuk-uhuk! Ia terbatuk karena asap berembus ke arahnya. Ranila merasa dadanya semakin sesak. Ia segera menutup hidungnya dengan kain.
“Udara semakin tidak sehat. Bahkan di dalam hutan pun udaranya terasa panas.”
Perut Ranila berbunyi. Ketika Ranila akan menyantap kue doro, kue keras berbentuk bola, kakinya tersandung, hingga kue di tangan Ranila terlempar ke semak-semak.
Ranila tertegun ketika membuka semak-semak.  Dilihatnya kepompong-kepompong besar berwarna putih bergantungan di tangkai semak. Ada satu kepompong bergerak-gerak. Perlahan kupu-kupu berwarna biru keluar dari kepompong, lalu terbang.
“Itu kupu-kupu Faranda! Kupu-kupu langka yang selalu keluar serempak dari kepompong masing-masing!” Dengan antusias Ranila menunggu kupu-kupu keluar dari kepompong lain. Namun sudah ditunggu lama, kepompong-kepompong yang lain tidak bergerak. Ranila menyentuh kepompong itu. Ternyata kepompong itu sudah kering. Pantas saja kupu-kupu di dalam kepompong mati.
            Ranila sedih bercampur marah. “Aku harus menceritakan kejadian ini kepada para kurcaci, mereka harus bertanggung jawab!” Ranila mengambil kepompong-kepompong sebesar     kepalan tangannya itu. Lalu dengan penanya, ia menuliskan cerita berjudul Hutan Sakit. Tengah malamnya, ia diam-diam meletakan kepompong berisi cerita itu di setiap pintu rumah para kurcaci.
            Saat pagi hari, para kurcaci ribut berbincang mengenai cerita dalam kepompong. Ranila memperhatikan mereka.
            “Ah, mana mungkin hutan sakit! Ini pasti hanya cerita karangan saja,” ujar Komara. Para kuraci setuju, mereka tidak peduli dengan cerita kepompong itu.
Namun, Ranila tetap menulis kelanjutan cerita dalam kepompong dan setiap malam ia meletakan kepompong itu di depan pintu rumah para kurcaci.
“Hahaha ceritanya semakin lucu, katanya hutan semakin sekarat dan sebentar lagi mati,” komentar  Komara.
“Kebakaran! Hutan terbakar!” teriak seorang kurcaci.
Para kurcaci berduyun-duyun menuju hutan, dengan sangat keras mereka mencoba memadamkan api yang membakar hutan, dan tanaman kebun mereka. Setelah itu, para kurcaci Negeri Kalala kebingungan. Asap semakin tebal, air semakin langka, hewan ternak mereka juga banyak yang mati.

Di tengah malam, sebuah kepompong tergeletak di depan rumah para kurcaci. Kepompong itu berisi cerita berjudul sembuhkan hutan, yaitu dengan tidak membakar hutan, menanam kembali pohon-pohon, dan merawatnya. Ranila beristirahat di pohon gandasa. Ia berdoa semoga ceritanya dalam kepompongnya kali ini, akan menyadarkan para kurcaci untuk menjaga hutan.(*)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 ZAHRATUL WAHDATI
| Distributed By Gooyaabi Templates