Cernak Detektif Air
Detektif Air
Oleh: Diy Ara
Suatu sore, di salah satu desa di
Pemalang. Jawa Tengah, seorang anak perempuan bernama Sala, diam-diam mengikuti
langkah Kak Zita.
“Jangan
sampai aku ketahuan.” ujar Sala yang berumur sebelas tahun.
Sudah seminggu ini, Sala penasaran dengan Kak
Zita, mahasiswa yang rumahnya di sebelahan rumah Sala. Sebab, Kak Zita punya hobi
aneh, mengoleksi air dari sumur-sumur penduduk. Tak terkecuali sumur rumah
Sala.
Kali ini, tidak seperti biasanya,
Kak Zita tidak masuk ke rumah penduduk. Ia malah menuju sungai kecil. Sala
melihat Kak Zita mengisi botol bening dengan air pancuran, yang mengalir dari
mata air yang persis berada di pinggir sungai.
Sala menjadi semakin bertanya-tanya
dalam hati. Untuk apa, sih, air-air itu?
Tiba-tiba,
Sala merasa ada sesuatu yang mengeliat di kakinya. “Cacing!” teriak Sala
ketakutan sambil melompat-lompat hingga cacing itu terlempar.
Kak Zita tertawa, lalu menghampiri
Sala. Sala menunduk malu karena ketahuan mengikuti Kak Zita.
“Ayo pulang, Sala!” ajak Kak Zita
ramah. Sala pun berjalan di samping Kak Zita.
“MAS?”
tanya Sala bingung melihat Kak Zita menuliskan “MAS” di botol air dengan spidol.
“Oh, ini singkatan dari Mata Air
Sungai. Kakak memang biasa menyingkat nama-nama air yang Kakak ambil, biar
lebih mudah menuliskan dan mengenalinya.”
“Oh, hobi Kak Zita aneh, ya? Suka
mengoleksi air dan dikasih nama juga. Seperti hewan peliharaan saja dikasih
nama.”
“Hahaha! Kakak bukan mengoleksi air,
Sala. Kakak sedang menyelidiki kualitas air.”
“Hah? Menyelidiki?” Sala tampak
bingung.
“Iya, emm, seperti dektektif.
Detektif air!” seru Kak Zita. “Kamu mau juga jadi dektektif air, Sala? Kalau
mau, ayo ikut Kakak ke rumah.”
Sala mengangguk semangat.
Sesampainya di rumah Kak Zita, Sala
terkejut melihat gelas-gelas berkode berisi air tersusun rapi di rak-rak.
“Pekerjaan detektif air itu apa
saja, Kak Zita?” tanya Sala sambil mencium beberapa gelas berisi air berwarna
cokelat keemasan. Baunya seperti teh. Ia juga melihat di gelas lain, ada yang
airnya berwarna ungu, hitam, dan biru.
“Ini dia tugas detektif air.” Kak
Zita menuangkan air yang ia ambil dari mata air dekat sungai tadi ke gelas. “Menyelidiki
kualitas kandungan kimia di dalam air dengan menggunakan air teh!”
Sala antusias memperhatikan Kak Zita
mencampurkan air sungai dengan air teh.
“Perbandingannya satu gelas kecil
air sungai dan dua gelas kecil air teh, ya! Lalu diamkan air campuran ini satu malam dalam keadaan terbuka,” jelas Kak Zita.
“Terus setelah satu malam air
didiamkan, apa yang terjadi, Kak?”
“Kalau
airnya berubah warna, berlendir, dan ada lapisan seperti minyak di
permukaannya. Berarti airnya tidak baik digunakan.”
“Oh, Sala tidak menyangka, air teh
bisa mengetes kualitas air.”
“Sekarang sudah tahu, kan? Semakin
cepat perubahan yang terjadi pada air teh menunjukkan semakin tinggi kandungan
kimiawi air tersebut. Bila baru berubah
setelah pengamatan satu malam, kandungan kimiawinya lebih sedikit, namun tetap
air itu kurang baik dikonsumsi. Tapi masih bisa untuk mandi, mencuci, dan
lain-lain.”
“Kalau dilihat dari perubahan
warnanya, gimana, Kak?”
“Bila air warnanya tetep seperti air
teh, maka secara kimia kualitas air itu baik. Tetapi, jika warnanya ungu,
hitam, dan biru berarti kualitas air buruk,
tanda
air itu mengandung tingkat kesadahan dan kandungan logam yang tinggi. Kalau
tetap mengonsumsinya, akan berdampak buruk bagi tubuh kita.”
“Oh, ya, kemarin Kak Zita mengambil
air di sumur rumah Sala kan? Gimana hasilnya, Kak? Pasti airnya layak
dikonsumsi kan, Kak? Soalnya warnanya bening dan tidak berbau.” kata Sala
yakin.
“Warnanya tidak berubah. Tetap warna
air teh.” Kak Zita memperlihatkan gelas berkode SBK, sumur Bu Kina, ibu Sala.
“Tetapi belum tentu, warna air yang bening dan tidak berbau itu layak
dikonsumsi, Sala.”
“Terus, harus diselidiki lagi, ya,
Kak?”
“Bener, masih harus diselidiki secara biologi.” Kak
Zita mengambil botol tertutup berkode SBK. “Air sumur Sala sudah Kakak diamkan
selama lima hari. Lihat!
Ada
gumpalan berwarna hijau. Ini berarti air sumur Sala mengandung bakteri. Ini
terjadi karena toilet Sala dekat dengan sumur. Jadi air rembesan dari toilet
merembes ke sumur. ”
“Yah ...” Sala cemberut. “Nanti,
Sala bilang sama Papa agar memindahkan toilet jauh dari sumur saja.”
“Tidak perlu seperti itu, Sala.
Kakak punya cara yang mudah.” Kak Zita membisikkan sesuatu di telinga Sala.
Membuat Sala tersenyum cerah.
Beberapa hari kemudian, Sala
tersenyum senang melihat tempat penampung air di atap rumahnya. Warnanya oranye.
Kemarin Papa yang memasangnya bersama Om sesuai permintaan Sala. Sala ingat
bisikan Kak Zita kalau menyimpan air
selama sehari akan mematikan 50% bakteri. Tetapi, air tetap harus dimasak
sebelum dikonsumsi.
Sala memandang rumah Kak Zita. Hari
ini, Kak Zita sudah kembali kuliah di Semarang. Kini, giliranku menjadi detektif
air dan mengajak teman-teman untuk
menguji air sebelum dikonsumsi, agar tubuh mereka tetap menjadi sehat. Janji
Sala dalam hati.(*)
Universitas
PGRI Semarang, 2015
0 komentar:
Posting Komentar