Review Buku: Eksploitasi Anak Terlantar dan Impian Sederhana Mereka
Judul Buku : Kereta Malam Menuju Harlok
Penulis : Maya Lestari GF
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal :
144 halaman
ISBN :
978-623-253-017-1
Harga :
Rp45.000,-
Mengangkat
tema yang tidak mainstream, novel Kereta Malam Menuju Harlok mengajak
kita beranjak dari kebiasaan menikmati sisi cerah dunia anak untuk menilik sisi
paling suramnya. Bahwa sebenarnya, masih banyak anak yang tidak bahagia, tidak
mendapatkan haknya, dan tidak ada yang peduli, seperti tokoh Tamir dan
kawan-kawan. Mereka ditelantarkan orangtuanya dan tinggal di Kulila, sebuah
panti asuhan. Namun sayangnya, Kulila juga tidak menjamin mereka bahagia.
“Semenjak
Amang resmi menjadi satu-satunya pegawai Kulila, anak-anak panti asuhan disuruh
mengamen atau mengemis.” (hal. 17)
Kutipan
tersebut menghadirkan perenungan bahwa eksploitasi anak terpampang jelas di
depan kita. Selama ini tindakan kita terhadap masalah itu adalah memberi uang,
lalu meninggalkan mereka yang masih mengemis dan mengamen.
Kita juga disuguhi
luka demi luka yang dialami oleh Tamir dkk. Dimulai dari cerita mereka
ditinggalkan orangtuanya serta satu-satunya pegawai Kulila, Amang. Hingga tidak
ada lagi orang dewasa tempat mereka berlindung. Padahal impian Tamir dan
kawan-kawannya sangat sederhana, yaitu memiliki keluarga. “Bagaimana rasanya
bisa mencium tangan ayah dan ibu saat hari raya idul fitri?” (hal. 12)
Sayangnya,
impian sederhana itu seakan mustahil. Tidak ada yang mau mengadopsi mereka,
sebab mereka semua cacat. Tamir hanya memiliki sebelah mata dan sebelah kaki, dan
anak-anak lain tak jauh berbeda. Di tengah kesedihan itu, harapan datang sewaktu
kereta malam membawa Tamir menuju Harlok.
“Kereta itu
bernama kereta malam. Kereta khusus anak telantar. Tugas kereta itu satu,
mengantar si anak telantar ke rumahnya.” (hal. 26)
Kereta
merupakan simbol perjalanan adopsi yang memberikan harapan. Namun tidak semua
adopsi berjalan sesuai impian, banyak pula yang membuat anak lebih sengsara,
seperti yang dialami Tamir. Akibatnya Tamir bukan mendapat kehidupan layak, malah
sebaliknya dijadikan pekerja tambang oleh orangtua angkatnya Vled. Tamir tidak
sendiri, ada puluhan anak lain yang diadopsi Vled. Vled mendirikan panti asuhan
sebagai kedok untuk memuluskan niat jahatnya
Novel ini menggambarkan
kembali kekejaman eksploitasi anak. Tokoh Vled yang mempekerjakan anak-anak demi
merauk keuntungan untuk dirinya sendiri nyatanya ada banyak di kehidupan nyata.
Ekploitasi anak di tambang, tidak hanya memaksa Tamir CS bekerja untuk
menghasilkan batu seruni setiap hari. Akan tetapi, mereka juga mendapat
siksaan. Mulai mendapat makanan yang tidak layak, sup bawang putih dan jamur,
dan tentu saja mereka tidak lepas dari hukuman.
“Anak yang
batunya kurang akan tinggal di dalam gua tambang, sampai semua teman-temannya
berhasil menebus dengan jumlah batu yang ditentukan.” (Hal. 86)
Tamir mememiliki
keinginan melawan. Sayangnya keluar dari area tambang tidaklah mudah. Vled
memelihara singa kabut yang buas. Kesempatan emas mendapatkan bantuan hadir
sewaktu Inspektur Jal dari Departemen Anak Telantar datang menginpeksi panti
asuhan milik Vled. Tetapi, Vled telah mengancam anak-anak agar memberikan kesan
baik dan bungkam mengenai tambang. Apalagi, Rupi, anak perempuan Baz, mandor
yang baik hati, dikurung di ceruk tambang.
Diam-diam,
Tamir mengangkat tangannya, agar pegawai inpeksi melihat luka-luka di tangannya.
Ide Tamir itu berhasil, hingga membuat pihak departemen meminta rekam ulang di
lain hari. Sayangnya, ini membuat Vled marah besar. Rupi akan dikurung selama
masalah ini belum selesai.
“Sampai kapan
kita akan berada di sini, Badur?” tanyanya.
“Sampai mati.”
“Lalu, mengapa
tidak berjuang?” (hal. 125-126)
Dialog yang
sangat cerdas itu menjadi bukti. Setelah luka demi luka yang dihadirkan orang
dewasa, anak-anak itu menjadi sosok tanggung yang mampu bangkit dari
keterpurukan dan berani melawan ketidakadilan. Penulis novel ini benar-benar
piawai mengajak pembaca melihat perkembangan karakter tokoh. Itulah yang
dibutuhkan pembaca anak-anak yang sedang berkembang dan novel ini mampu
menyajikannya.
Menariknya
lagi, keberanian Tamir untuk melawan mampu menggerakkan keberanian Baz, tokoh
dewasa untuk melawan Vled. Peran Baz tidak dominan. Dia hanya sebagai peran
pembantu. Peran utama yang menyelesaikan masalah tetaplah dipegang Tamir.
Mereka mulai menyelamatkan Rupi di ceruk tambang. Namun dipergokki Vled.
Sampai terjadilah
kejar-kejaran mobil dan Vled memenangkannya. Di bagian ini, penulis mampu
menciptakan ketegangan pada pembaca. Tokoh utama terpojok. Di saat itu, Tamir
memencet tombol hingga pintu jembatan ke hutan kabut terbuka. Hutan tempat
singa kabut tinggal. Ternyata singa kabut itu baik dan bersahabat dengan Tamir.
Singa kabut
bisa diartikan simbol ketakutan yang dimiliki anak-anak, khususnya Tamir.
Ketika kita sudah berani bertemu dan bersahabat dengan ketakutan. Ketakutan itu
bisa berubah menjadi kekuatan yang mengalahkan kejahatan, yaitu Vled.
Novel ini
berakhir bahagia. Tamir Kembali ke Kulila dan terkejut dengan kehadiran ketua
Yayasan Kulila yang baru, Pak Basuki dan anak perempuannya. Kedua orang itu mirip
Baz dan Rupi. Mimpi Tamir terwujud, dia memiliki bapak asuh. Anak-anak telantar
seperti Tamir, mereka tidak butuh banyak orang, cukup satu orang yang peduli
dan menjadi orangtua mereka.
Tidak ada yang
sempurna, novel ini juga memiliki sedikit kesalahan penulisan. Seperti
kesalahan ketik dan jarak spasi yang terlalu jauh pada dialog di halaman 137.
Namun itu masalah kecil yang tidak merusak keistimewaan novel ini. Novel ini
sungguh berhasil mengangkat tema berat tentang eksploitasi anak dengan kemasan
bahasa ringan khas anak-anak.
Peresensi:
Zahratul
Wahdati, bisa dihubungi di akun twitter @zahrawdt.